Rabu, 31 Oktober 2012

Puisi dan Kehidupan

Oleh Nurohmah

24 Oktober 2012

Hewan mati tetap saja akan menjadi hewan (bangkai). Gelandangan mati dipinggir jalan menjadi sampah. Tak ada yang memandang apalagi melihat dan sampai menguburkan seperti manusia lainnya yang mati di atas ranjangnya. Dan apalagi jika mati karena tertabrak mobil di jalan raya mungkin mayat itu habis terlindas oleh mobil lain yang melintas. Akhirnya benar-benar menjadi sampahlah ia. Sampah busuk di pinggir jalan dan jika tak dibuang akan menyebarkan wangi tak sedap. Namun yang anehnya hidung manusia di sana masih tetap saja nyaman bernapas. Entah mereka sudah biasa atau karena memang hidung mereka sudah tak peka lagi saya juga kurang tahu. Bisa juga karena mereka sengaja menjadikan itu semua sebagai sampah pemandangan yang unik. Tapi apa bagusnya sampah itu dipajang?

Virus yang tak terlihat oleh mata telanjangpun sangat berbahaya. Apalagi jika virus itu kelihatan. Mungkin virus juga akan meniru kehidupan kaum Bani Israil (saling membunuh). Dunia telah sekian lama berada pada zaman yang lebih baik setelah Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Namun sepertinya dunia seolah sekarang perlahan telah kembali pada zaman kegelapan. Sudah jarang manusia yang mau bersusah payah berusaha demi sesuap nasi. Rakyat jelata diinjak-injak harga dirinya. Manusia tak lagi memandang manusia sebagai manusia. Dan satu berbanding sekian pemimpin yang masih mau memandang ke bawah dan bercermin diri. Aku yang hidup pada zaman ini kadang merasa gerah setiap hari yang kulihat hanyalah lautan orang yang berambisi pada persaingan dunia, titel dan jabatan.

Ketika puisi harus berbicara untuk berjuta unek-unek yang menumpuk di tempurung otakku. Harus dari belah mana dulu puisi memulainya. Puisi adalah surganya para penyair. Kerajaan penyair yang tak memerlukan tahta. Kehidupannya sangat sederhana. Namun jika suatu hari puisi meledak dapat dikatakan puisi ibarat bahan utama peledak yang dapat menghancurkan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Membakar dan menghanguskan virus-virus yang tak terlihat sekalipun. Mengapa demikian? Karena puisi akrab sekali dengan sifat manusia yang paling mulia yaitu kejujuran. Para penguasapun takut padanya.

Mengapa harus puisi? Mengapa tidak lagu dangdut saja yang sangat akrab di telinga masyarakat kalangan bawah yang selalu didengarkan tiap pagi oleh mereka meski hanya ditemani kopi pahit saja. Puisi ditulis penyair bukan semata karena uang. Bukan suatu cita-cita apalagi gelar. Namun puisi ditulis penyair sebagai suatu kebutuhan. Puisi adalah teman sejati yang tak pernah berontak pada penulisnya. Karena puisilah kita dapat memegang dunia. Dunia seolah berada di tangan dan tintanya. Berminpi, percaya, dan keyakinannya pada puisi untuk membawanya bebas memandang dunia. Kesetiaanya membantu imaji menciptakan sebuah karya. Dan jika penyair harus mati. Mati bukan berarti kalah. Mengenang Widji Tukul (Wiji Widodo) pada peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta.

Menulis itu hal yang menyenangkan. Karena menulis adalah jembatan yang membawa pada pembebasan berpikir. Menulis adalah media yang membebaskanmu dari terbelenggunya pemikiran yang tak sempat tersampaikan secara langsung. Menurut Dr. Pennebaker, menulis itu menjernihkan pikiran, menulis dapat mengatasi trauma, menulis membantu mendapatkan dan mengingat informasi baru, menulis membantu memecahkan masalah dan menulis-bebas membantu kita ketika kita terpaksa harus menulis.

Dan mengapa harus menulis puisi? Puisi merupakan ekspresi dari pengalaman imajinatif manusia. Pertama sekali yang kita peroleh ketika membaca sebuah puisi adalah pengalaman. Semakin banyak orang membaca puisi semakin banyak pula pengalaman yang diperoleh / nikmati, terlebih pula pengalaman imajinatif. Dan sebenarnya suatu pengungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat, di mana kata-kata condong pada artinya yang konotatif, itulah yang dimaksudkan puisi yang sebenarnya (Tirtawirya, 1983:3).

Puisi mampu memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka membentuk pandangan hidupnya. Hal itu mungkin saja terjadi karena pada awal pertumbuhannya, puisi sangat erat hubungannya dengan filsafat dan agama. Bahkan Anda yang beragama Islam, tentunya telah memaklumi bahwa Kitab Suci Al-Quran teruntai dalam rangkaian puisi yang indah. Begitu juga renungan para pujangga Jawa dan Sunda, umumnya juga disusun dalam bentuk tembang.

Unsur kehikmahan yang bermanfaat dalam mengembangkan filsafat hidup pembaca dapat meliputi berbagai masalah yang sangat kompleks. Kompleksitas itu terjadi karena, sebagai suatu kreasi seni, puisi dapat mengangkat bahan penciptaannya dari kompleksitas masalah dalam kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada dan mungkin ada. Oleh sebab itulah, puisi pada dasarnya juga mampu menggambarkan problema manusia yang bersifat universal, yakni tentang masalah hakikat kehidupan, hakikat manusia, kematian dan ketuhanan.

***

Jika sastra khususnya puisi memberikan manfaat seperti di atas, maka mulai saat ini tidak ada kata terlambat untuk mulai mengakrabkan diri dengan puisi. Oleh karena itu, kita dapat memulainya dengan mencatatkan hal-hal penting atau peritiwa penting. Dalam hal ini buku diary atau buku apa saja yang selalu Anda bawa menjadi sangat bermanfaat untuk menampungnya. Buku diary ini akan membantu kita dalam membangun kembali emosi yang kita lalui pada saat itu ke dalam puisi.



Daftar Pustaka

Aminuddin, Drs. (2009). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Djojosuroto, Kinayati. (2006). Pengajaran Puisi. Bandung: Penerbit Nuansa.

Hernowo. (2004). Quantum Writing. Bandung: Mizan Media Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar