Kisah Sahabat Nabi: Mush'ab bin Umair, Duta Islam yang
Pertama
Ilustrasi
Berita Terkait
Kisah Sahabat Nabi: Mu'adz bin Jabal, Pelita Ilmu dan Amal
Kisah Sahabat Nabi: Miqdad bin Amr, Mujahid Ulung dan Ahli
Filsafat
Kisah Sahabat Nabi: Khubaib bin Adi, Syahid di Tiang Salib
Kisah Sahabat Nabi: Khalid bin Sa'id bin Ash, Kebesaran Jiwa
Seorang Sahabat
Kisah Sahabat Nabi: Khalid bin Walid, Si Pedang Allah
REPUBLIKA.CO.ID, Mush'ab bin Umair salah seorang diantara
para sahabat Nabi. Ia seorang remaja Quraisy terkemuka, gagah dan tampan, penuh
dengan jiwa dan semangat kemudaan. Para
ahli sejarah melukiskan semangat kemudaannya dengan kalimat: "Seorang warga
kota Makkah yang mempunyai nama paling harum."
Mush'ab lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh
dalam lingkungannya. Mungkin tak seorang pun di antara anak-anak muda Makkah
yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya sebagaimana yang dialami
Mush'ab bin Umair.
Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa
hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Makkah dan menjadi
bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat menjadi tamsil dalam
semangat kepahlawanan?
Suatu hari, anak muda ini mendengar berita yang telah
tersebar luas di kalangan warga Makkah mengenai Muhammad Al-Amin, yang
mengatakan dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka,
sebagai dai yang mengajak umat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah
bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar
jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit
Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Maka pada suatu senja, didorong oleh kerinduannya, pergilah
ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah SAW sering
berkumpul dengan para sahabatnya, mengajarkan mereka ayat-ayat Alquran dan
mengajak mereka beribadah kepada Allah Yang Maha Akbar.
Baru saja Mush'ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat
Alqur'an mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya
dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush'ab pun
terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran di
kalbunya.
Khunas binti Malik yakni ibunda Mush'ab, adalah seorang yang
berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia
wanita yang disegani bahkan ditakuti. Ketika Mush'ab memeluk Islam, tiada satu
kekuatan pun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri.
Bahkan walau seluruh penduduk Makkah beserta berhala-berhala
para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang
menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush'ab akan
menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya, bagi Mush'ab tidak dapat
dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk
menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah.
Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam
menghadiri majelis Rasulullah, sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan
dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita
keislamannya.
Tetapi di kota Makkah tiada rahasia yang tersembunyi,
apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana
mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang
bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab memasuki rumah Arqam secara
sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad
SAW. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush'ab dan melaporkan berita yang
dijamin kebenarannya.
Berdirilah Mush'ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para
pembesar Makkah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti
dibacakannya ayat-ayat Alquran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati
nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan
tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan
jatuh terkulai, ketika melihat cahaya yang membuat wajah putranya berseri
cemerlang itu kian berwibawa. Karena rasa keibuannya, ibunda Mush'ab tak jadi
menyakiti putranya. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di
rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya dengan rapat.
Demikianlah beberapa lama Mush'ab tinggal dalam kurungan
sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habasyah. Mendengar berita hijrah
ini Mush'ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya,
lalu pergi ke Habasyah melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama
saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang ke Makkah. Kemudian ia pergi lagi
hijrah kedua kalinya bersama para sahabat atas titah Rasulullah dan karena taat
kepadanya.
Pada Suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin
yang sedang duduk sekeliling Rasulullah SAW. Demi memandang Mush'ab, mereka
menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah
karena duka. Mereka melihat Mush'ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal,
padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka—pakaiannya sebelum masuk
Islam—tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan
bau yang wangi.
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti,
disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Pada kedua bibirnya tersungging
senyuman mulia, seraya berkata, "Dahulu aku lihat Mush'ab ini tak ada yang
mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian
ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya."
Suatu saat Mush'ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu
tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk
mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbaiat
kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Di samping itu, ia juga mempersiapkan kota
Madinah untuk menyambut hijrah Rasulullah sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya, di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang
lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan
Rasulullah daripada Mush'ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada
Mush'ab. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan
tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu dan menyerahkan kepadanya tanggung
jawab nasib Agama Islam di kota Madinah.
Mush'ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah
kepadanya, berupa pikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud,
kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk
Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Ketika tiba di Madinah
pertama kali, ia mendapati kaum Muslimin tidak lebih dari dua belas orang,
yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Namun beberapa bulan
kemudian, meningkatlah jumlah orang-orang yang memenuhi panggilan Allah dan
Rasul-Nya.
Mush'ab memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak
terlanjur melampaui batas yang telah diterapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah
menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu agama yang
mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Akhlaknya mengikuti pola hidup Rasulullah SAW yang diimaninya yang mengemban
kewajiban hanya menyampaikan belaka. Demikianlah duta Rasulullah yang pertama itu
telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang
memang wajar dan layak diperolehnya.
Dalam Perang Uhud, Mush'ab bin Umair adalah salah seorang
pahlawan dan pembawa bendera perang. Ketika situasi mulai gawat karena kaum
Muslimin melupakan perintah Nabi, maka ia mengacungkan bendera
setinggi-tingginya dan bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju menyerang musuh.
Targetnya, untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah
SAW. Dengan demikian ia membentuk barisan tentara dengan dirinya sendiri.
Tiba-tiba datang musuh bernama Ibnu Qumaiah dengan
menunggang kuda, lalu menebas tangan Mush'ab hingga putus, sementara Mush'ab
meneriakkan, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang
sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."
Maka Mush'ab memegang bendera dengan tangan kirinya sambil
membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus
pula. Mush'ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan
meraihnya ke dada sambil berucap, "Muhammad itu tiada lain hanyalah
seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."
Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan
tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush'ab pun gugur, dan
bendera jatuh. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada.
Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran
untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat
terbaringnya jasad Mush'ab, bercucuranlah dengan deras air matanya.
Tak sehelai pun kain untuk menutupi jasadnya selain sehelai
burdah. Andai ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya.
Sebaliknya bila ditutupkan di kakinya, terbukalah kepalanya. Maka Rasulullah
SAW bersabda, "Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutuplah
dengan rumput idzkhir!"
Kemudian sambil memandangi burdah yang digunakan untuk kain
penutup itu, Rasulullah berkata, "Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun
aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadanya.
Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai
burdah."
Setelah melayangkan pandang, ke arah medan laga serta para
syuhada, kawan-kawan Mush'ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru,
"Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari kiamat, bahwa kalian
semua adalah syuhada di sisi Allah!"
Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup,
Rasulullah bersabda, "Hai manusia, berziarahlah dan berkunjunglah kepada
mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang
Muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka
akan membalasnya."
Semoga kisah Mushab bin Umair ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar