Selasa, 25 Maret 2014

dimuat pada kolom Budaya, Surat Kabar Priangan.Senin, 24 Maret 2014



Cipling
Cerpen Nurohmah
“Cipling! Mana topimu?” seru guruku.
“Oh, iya Cipling lupa, Bu. Ketinggalan di rumah nenek.”
“Emangnya ada apa di rumah nenek? Sampai topimu ketinggalan?”
“Ngga’ ada apa-apa, Bu. ‘Kan Cipling tinggal di rumah nenek.”
Guruku langsung bertolak pinggang. Tangannya mengincar telingaku tapi aku segera berlari menuju lapangan untuk berbaris. Pagi itu aku lolos dari cengkeraman tangan nenek sihir. Baru sekolah beberapa hari saja guru-guru sudah hafal namaku.
Sebenarnya nakal bukan hobi, hanya saja jika satu hari tanpa ulah nakal, dunia ini sepi banget. Bahkan tak bisa mengalahkan indahnya bunga mawar merah yang mekar merona. Padahal ciptaan-Nya yang paling indah itu adalah para manusia yang setiap hari makin memenuhi bumi ini. Hidup tak bisa disia-siakan begitu saja.
 “Bu? Bu Anis? Bu Anis tahu Cipling kelas VII A?”
“Emangnya kenapa, Bu?”
“Dia itu ngga’ pernah mengerjakan PR. Udah kasih dia ketegasan tapi tetep aja ngga’ ngerjain.”
“Sama, Bu. Di kelas dia juga sering tidur dan tidak memperhatikan.”
“Kalau begitu... kita harus gimana lagi ya, Bu?”
“Entahlah.”
***
“Cipling? Masukan bajunya!”
Cipling mengangguk, sambil merapikan bajunya ia bertanya,”Boleh bertanya ngga’ Bu?”
“Nanya apa?”
“Itu, mau nanya, kenapa baju Ibu juga ngga’ dimasukan?”
“Kamu ya... jelaslah punya Ibu tidak dimasukkan.”
Telingaku langsung jadi sasaran tangannya. Lalu menggiringku ke lapangan. Ibu Nani menyuruhku hormat di bawah tiang bendera. Bel istirahat berbunyi dan aku masih berdiri di lapangan.
“Cipling? Ngapain kamu masih berdiri di sana? Cepat masuk!” seru pak Samin.
“Tapi, nanti Ibu Nani pasti marah.”
“Kamu mau dimarahin Bapak atau dimarahin Bu Nani? Cepat masuk.”
“Bener, Pak?”
“Cepat masuk.”
“Yes!”
“Cipling kenapa kata guru-guru lain ngga’ pernah ngerjain PR?”
“Oh, anu Pak. Anu...”
“Anu apa?”
“Cipling lupa, Pak.”
“Mulai sekarang ngga’ boleh lupa. Ngerti?”
“Iya, Pak.”
“Hari ini Bapak mau ngadain ulangan. Cipling udah belajar belum?”
“Hah? Ulangan Pak?”
“Iya.”
“Kok ngga’ ada pemberitahuan, Pak? Cipling ‘kan kemaren masuk.”
“Iya, ‘kan biar surprise.”
“Tenang aja Pak. Pelajaran Matematika itu kesukaan Cipling.”
“Awas kalau nilai nol! Kalau nilai nol Bapak akan kasih kamu PR setiap hari. Tapi kalau Cipling dapat seratus, kamu ngga’ perlu ikut tes akhir. Langsung Bapak kasih nilai seratus di rapor.”
“Bener, Pak?”
“Emang Bapak keliatan lagi bercanda, ya?”
Ulangan dimulai. Kelas tiba-tiba menjadi sunyi. Tak terdengar suara gaduh sekecil apapun, meski hanya suara pulpen terjatuh. Lima belas menit baru berlalu tapi aku merasa telah benar-benar merampungkan semua soal. Langsung saja aku berdiri dan menyerahkan kertas ulangan. “Mata pak Samin itu tadi gede banget sih.” gumamku.
“Cipling ikut Bapak ke kantor.”
Aku langsung membuntuti Pak Samin ke kantor. Semua anak menyumpahi kalau aku pasti dapat nilai nol, karena kertas ulanganku saja yang belum dibagikan. Mereka tahu kalau aku memang anak yang susah diatur, anak nakal yang bisanya menggaggu. Aku juga igin menjadi siswa yang mempunyai perilaku baik, taat, dan patuh, seperti yang lain.
 “Cipling? Kamu nyontek ya?”
“Ngga’ Pak?”
“Tapi, Bapak ngga’ pernah lihat kamu serius di kelas? Kerjaan kamu bercanda terus.”
“Setiap pulang sekolah Cipling kerja jaga toko sama angkat-angkat barang, Pak. Terus pulangnya malem. Jadi Cipling selalu lupa mengerjakan PR. Terus Cipling suka ngeliatin guru private anak pemilik toko kalo Cipling lagi bekerja. Kadang-kadang malah saya disuruh ikut menemani anaknya belajar.”
“Oh, begitu? Tapi kenapa kamu selalu membuat onar? Selalu membuat guru yang lain pusing. Selalu menghukum kamu.”
“Kalau itu Cipling memang benci dengan sekolah. Gara-gara Cipling pergi ke sekolah, ibu Cipling pergi dan ayah menikah lagi. Sampai sekarang ibu ngga’ pernah pulang. Dia hanya mengirimi Cipling uang. Tapi Bapak tahu? Jadi apa Ibu Cipling? Pelacur Pak. Cipling ngga’ mau terus-terusan makan uang haram. Kalau Cipling diperbolehkan nenek ngga’ sekolah, Cipling lebih memilih mengurus nenek...”