Jumat, 30 November 2012

Kronologi Perang Salib

Image
Perang Salib I
        Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, rajanya adalah Raymond.
        Selanjutnya, Syeikh Imaduddin Zengi pada tahun 1144 M, penguasa Mosul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Perang Salib II
        Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua.
Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hittin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.
Perang Salib III
        Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard si Hati Singa raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan Perang Salib III.
Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa - saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.
Perang Salib IV
        Pada tahun 1219 M, meletus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Koptik. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath, raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyath, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.
        Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Dinasti Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baibars, Qalawun, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum Muslim tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.

Sabtu, 24 November 2012

Cerpen Tentang "Cinta"


Alhamdulillah cerpen yang bertema cinta ini dapat diselesaikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman kosan yang telah bersedia membantu mengenai hal yang terkait di dalam cerpen. Selamat membaca semoga pembaca tidak ketawa saat membacanya. *_*

                                          Gerimis dalam Kekeringan

Love Image
     
       Cinta merupakan perasaan yang setiap manusia pasti memilikinya dan mampu merasakannya. Namun cinta yang kurasa masih terombing-ambing di lautan dan lepas. Terbentur karang dan ombak. Aku masih belum tahu kini cintaku milik siapa. Semuanya berlalu terlalu singkat. Aku sudah lupa bagaimana perasaan saat pertama kali aku jatuh cinta. Saat pertama kali aku menemuinya meski hanya dalam impian semata.
       Namun yang kurasakan adalah berdiri diantara sebuah keinginan dan penolakan cinta. Semua aku timbang dengan benar dan hati-hati. Sehingga aku putuskan untuk pergi jauh-jauh. Karena berjuta alasan dan kebaikan untuknya. Itulah sebuah peperangan yang membuat separuh jiwaku berada dalam tengah hutan yang gelap. Terasa tak ada yang memberiku petuah yang menyentuh. Aku tak bisa mendengar dengan baik apa yang terjadi pada lingkungan saat aku berdiri.
       “Udah belum, Hen? Udah mau ditutup perpustakaannya.” kata-kata Saskia memecah lamunanku.
       “Oh, iya. Ini udah ada semua referensi bukunya. Tinggal langsung saja ke penjaga perpustakaan. Ayo?” ajakku sambil membereskan tas dan membawa buku-buku yang sudah aku pilih untuk ditunjukkan kepada penjaga perpustakaan.
       Hati tak bisa berbohong sedikitpun. Meski berkali-kali aku memungkirinya. Berkali-kali pula aku merasakan sakit yang mahadahsyat. Jiwa sedang di kelas namun pikiran entah berkelana kemana. Tak dapat fokus dengan yang ada di depan mata. Rasanya jika seorang pianis sedang memainkan nada, nada itu tak akan memiliki jiwa. Nada itu adalah aku. Sampai perkataan teman sendiripun tak didengar.
       “Hen, asyik nih nilai kita yang paling besar. Ngga’ salah ya aku sekelompok sama kamu, Hen. Kapan-kapan kita belajar bersama lagi dong, Heni.” kata Saskia penuh manja saat kami berdua sedang duduk di bangku taman.
       “Tapi, ada syaratnya. Kamu harus bawa sebotol cairan cinta dan sepiring kesetiaan untuk membuatku nyaman.” jawabku ngeledek.
       “Huh, dasar.” jawabnya kesal.
       Dalam perjalanan pulang, aku dan Saskia bicara apapun yang melintas dalam pikiran. Dia selalu menyinggung-nyinggung perihal cinta, yang selalu membuatku bosan dan malas untuk membahasnya. Sebenarnya bukan aku membenci seseorang yang membuatku benci membicarakan soal cinta. Hanya saja aku tak seharusnya memiliki perasaan cinta yang salah, yang hanya akan membuatku kecewa karena cinta yang kumiliki tak akan mungkin aku miliki seutuhnya. Akupun tak menyalahkan perasaan ini.
       Sebuah opini aku nyatakan, lebih baik mencintai seorang idola daripada mencintai seseorang yang tidak akan membalas cinta dan perasaan kita. Karena sebatas antara seorang fan dan idola, aku hanya mengagumi saja sehingga tak akan membuatku patah hati apalagi kecewa. Hanya sebatas untuk mendapatkan inspirasi dari sosok ­public figure. Sosoknya dapat memberikanku semangat baru. Itulah yang kurasakan saat ini. Dalam keadaan diriku yang tak menentu ini. Aku mencoba mengalihkan perhatianku. Dan mencintai-Nya lebih baik karena jelas cinta-Nya hanya untuk hambanya.
       “Heniii...?” dari kejauhan aku mendengar ada yang mengucap namaku begitu keras. Akupun menengok ke belakang.
       “Herry. Ada apa, Her?” aku tak menyangka dia datang menghampiriku sore itu. Seketika membuat aku gugup.
       Kini aku ingat bagaimana rasanya cinta pertama itu bersemi. Semua orang disekeliling kita menghilang. Semua kosakatapun yang ada di otak terasa hilang begitu cepat, yang menjadikan penyakit amnesia datang sekejap. Semua urat syaraf untuk mengucapkan sepatah katapun terkunci. Dan kau tak bisa apa-apa kala mata itu menghunus matamu. Kau akan terkulai dalam kata-katanya yang menjelma bagai gerimis. Gerimis yang turun dan membasahi jiwa yang sedang kekeringan.
       “Kau menjatuhkan ini.” katanya sangat ramah.
       “Ah, iya betul ini gantungan tas milikku. Makasih ya, Her?” kataku sambil gemetar dan mengambil gantungan tasku dari tangannya.
       Sejak awal perjumpaan itulah aku dengannya jadi semakin akrab. Kala cinta kucoba untuk aku musnahkan dia malah datang. Tapi kala cinta kuharapkan datang dia tak juga datang. Dan semakin membuat keadaan menjadi begitu acuh. Apakah kau mengujiku, cinta? Kau jahat sekali. Kau membuatku merasa seluruh dunia menjauhiku. Tak ada yang mengajakku menikmati indahnya hari.
       Semuanya begitu indah jika cinta itu sudah berkumpul dan dirasakan bersama. Bagai penantian kertas-kertas putih yang telah menemukan tintanya. Terasa lengkap jika seseorang telah menemukan sumber mata air yang akan membuatnya sejuk setiap saat. Cintaku untukmu setiap hari. Cintaku kepada-Nya, bukan hanya sekedar lima waktu semata. Cintaku untuk mereka dan mereka tetap menjadi yang paling berwarna dan lebih terang. Kau membuatku lebih perhatian kepada yang lain. Semangatku telah kembali seutuhnya ke dalam raga. Namun saat mata tak bisa memandang. Kuharap biarlah hanya doa yang menyatukan. Dan kau tetap sabar. “Ya, Allah. Kini malam-Mu telah datang dan siang-Mu telah berlalu dan suara-suara penyeru-Mu telah diperdengarkan maka ampunilah aku.”
November 2012

Sabtu, 17 November 2012

Cerpen 2012



Seorang Bapak Berjas Abu

Converse
Sering aku datang terlambat. Banyak faktor yang melatar belakangi mengapa aku terlambat diantaranya yaitu aku bangun kesiangan. Namun pagi ini karena sepatuku tidak ada di atas rak sepatu. Sekitar setengah jam aku mencari di mana sepatuku. Namun hasilnya nihil. Terpaksa aku memakai sepatuku yang lama.
            Saking terburu-burunya sampai semua kendaraan yang ada di depanku aku salip tanpa perhitungan. Sampai akupun menerobos lampu merah, berlari dan terus berlari menuju kelas. Aku membuka pintu kelas ternyata dosen belum datang, semua mahasiswa melihat ke arahku sambil berkata “kamu bikin kaget kita aja” seru mereka. Akupun duduk.
Aku tak menyadari tali sepatuku terinjak, saat namaku dipanggil dosen maju ke depan. Nyaris aku jatuh seandainya aku tidak pegangan kursi yang ada di depanku. Hari ini penuh dengan cerita misteri sepatu yang membuatku hampir naik darah. Setelah pelajaran usai, aku memperhatikan ada berbagai jenis dan merk sepatu lalu lalang di depan mata. Ada sepatunya orang kaya, sepatunya orang cantik, sepatunya orang antisosial, sepatunya model dan sepatunya orang miskin. Hampir tiap hari aku melihat si diapun berganti sepatu. Kehidupannya bagai pertunjukan model yang berjalan di atas cat walk.
Anak kecil penyemir sepatu yang sering kali aku lihat di depan kampus dengan pedagang koran, kerap membuatku merasa tersentuh. Wajahnya yang polos dan penuh keceriaan. Baju kusut dan wajah yang kurang bersinar serta tak mengenakan sepatu, menawari jasa penyemir sepatu kepada siapapun yang ia jumpai.
Aku selalu berdua dengan Venda. Biasanya aku menunggu jam kuliah di atas tangga ke lima dekat ruang kuliah sambil browsing, membaca karya-karya sastra dari berbagai situs blogger.
“Et, tot. Sorry.” seorang wanita yang terkenal centil menginjak kakiku.
“Sorry-sorry. Sakit nih. Sepatu besi lo itu nginjek kaki gue.”
“Gitu aja marah.” katanya datar sambil turun menuruni tangga.
Pandangannya menelanjangi pikiran. Imajinya membaca isi hatiku. Gerakan tangannya menghipnotis sesaat. Suara beratnya memecah derai keringat. Nenek misterius semakin serius menangkap gerakan bola mataku. Lalu pergi begitu saja dengan cucunya. Meninggalkan aku yang masih tampak cengang.
“Mengapa nenek bisa tahu aku di sini?” kaget setengah mati aku melihat nenek misterius itu datang ke rumahku.
“Nak, sepatu cucu nenek ilang. Maukah kau memberikan nenek sepatumu, Nak?”
“Oh, iya, Nek. Kebetulan aku ada sepatu yang tidak dipakai. Tunggu sebentar aku ambil dulu, Nek.”
“Terima kasih, Nak. Terima kasih banyak. Semoga Tuhan menggantinya dengan yang lebih baik.” katanya lirih meyakinkan sambil memalingkan pandangan dan pergi.
Keanehan yang semakin membuat bulu kudukku semakin merinding. Kebingungan langsung menyerang kepalaku. Aku tak bisa jujur saat nenek tua itu meminta sepatuku. Padahal aku sendiri, tinggal sepatu itu yang aku miliki. Akhirnya, langsung aku jemput Venda dan mengajaknya pergi ke toko sepatu.
“Sebenarnya sepatu seperti apa yang kau cari, Wan?”
“Tak ada sepatu yang...”
“Sssst. Liat tuh cewek cantik. Pake higil bak diva saja, Wan.”
“High heels!” kataku sambil merengut.
“Eh, eh mau kemana? Katanya mau...” aku menarik tangan Venda tanpa banyak penjelasan.
Dari jajaran sepatu yang murah sampai yang mahal, tak ada yang memesona dan menarik hati. Aku memutuskan untuk makan saja di salah satu tempat favorit kami berdua kala mengunjungi pusat perbelanjaan.  Tanpa ba bi bu lagi Vendapun langsung memesan makanan. Sementara aku pergi ke toilet.
Nak, Bapak nitip tas Bapak dulu, ya? Bapak mau ke sana sebentar mau membeli mainan buat anak Bapak.”
Oh, ya, Pak.” kataku singkat.
Saya menunggu Bapak berjas abu itu untuk kembali lagi mengambil tasnya. Sekitar 15 menit aku mondar-mandir di depan pintu toilet. Bapak berjas abu tak juga kembali. Aku mencari Bapak yang tadi masuk ke toko mainan. Namun aku tak mendapati satu pengunjungpun di sana. Panik aku langsung menghampiri Venda.
Ven, Ven. Aku...” kataku bingung .
“Apa. Aku, aku. Ngomong tuh yang jelas.”
“Ini, nih. Tadi ada seorang bapak-bapak nitipin ini.”
“Terus, bapaknya mana?”
“Nah, itu dia permasalahannya.”
Venda merebut tas bapak berjas dan langsung melihat isi tasnya. Tanpa sepatah kata langsung dia mengambil sebuah kotak berwarna hitam bertuliskan “converse”. Setelah dibuka isinya sepasang sepatu berwarna coklat muda. Aku langsung melotot kala Venda membacakan sebuah sobekan kertas kecil yang bertuliskan sebuah pesan.
Untukmu seorang pemuda yang baik hati, Wawan.
“Aku mengambil sepatumu di atas rak kemarin. Sepatuku basah. Maaf aku tak langsung memberitahu. Aku buru-buru pergi karena ibuku sakit. Tetapi sebagai gantinya aku telah mengirimimu sebuah sepatu yang sama. Karena mungkin aku akan lama.” sebuah pesan singkat dikirim oleh Indra teman satu kos denganku.

09.07 p.m
14 November 2012

Jumat, 09 November 2012

DI UJUNG ALISKU



       Di ujung alisku air mata cinta berjatuhan. Di ujung seyum bibirku tergantung namanya. Di ujung kepekaan lidahku ada rasa yang tak menentu kala racun itu kureguk. Tertelan menusuk jiwa. Tak ada lagi penawar. Segala yang kulihat tak ada selain bayangannya pada tembok, lantai, atap, dan tempat tidur. Dia  bak kuman yang tampak di manapun aku singgah. Menempel dan mengikuti di balik pandangan mata. Tak ada keadaan nyaman selain cara untuk membunuhnya. Itulah kesulitanku.
        Dalam perjuanganku kali ini untuk membunuh kuman, aku memang tidak berhasil sedikitpun. Dengan adanya kata-kata bijak yang kudengar kala itu, aku semakin tak kuasa menguasai diriku sendiri. Aku semakin tak bisa mengenali siapa aku. Aku semakin jatuh lebih dalam ke lembah cintanya. Semakin aku tak dapat menarik lagi jiwa ini ke daratan. Aku semakin tersiksa dengan perasaanku sendiri. Ini takdir untuk merasakan bahwa cinta merupakan perasaan yang begitu sulit aku jelaskan. Begitu sulit untuk aku menerima kembali keadaan yang sebelumnya biasa-biasa saja. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali memandang tembok dan melemparinya dengan senyuman-senyuman yang tak jelas adanya. Entah dari mana datangnya senyuman, itupun tak pernah disangka sebelumnya.
        Ada kalanya hari menjadi harinya orang gila. Milik orang-orang yang sedang membangun cinta. Ada kalanya hari begitu pendek. Suara gemuruhpun tak dapat didengar sore itu. Ucapan terima kasih dari seseorangpun tak sempat dibalasnya. Begitu pelitkah cinta sampai tak membolehkan diriku berbagi dengan yang lain? Persediaan kantung udaraku pagi ini hanya 60%. Itupun hanya sekedar untuk melangkah dan melewati pandangannya. Aku hampir tak bisa bernapas.

09 November 2012