Jumat, 09 November 2012

DI UJUNG ALISKU



       Di ujung alisku air mata cinta berjatuhan. Di ujung seyum bibirku tergantung namanya. Di ujung kepekaan lidahku ada rasa yang tak menentu kala racun itu kureguk. Tertelan menusuk jiwa. Tak ada lagi penawar. Segala yang kulihat tak ada selain bayangannya pada tembok, lantai, atap, dan tempat tidur. Dia  bak kuman yang tampak di manapun aku singgah. Menempel dan mengikuti di balik pandangan mata. Tak ada keadaan nyaman selain cara untuk membunuhnya. Itulah kesulitanku.
        Dalam perjuanganku kali ini untuk membunuh kuman, aku memang tidak berhasil sedikitpun. Dengan adanya kata-kata bijak yang kudengar kala itu, aku semakin tak kuasa menguasai diriku sendiri. Aku semakin tak bisa mengenali siapa aku. Aku semakin jatuh lebih dalam ke lembah cintanya. Semakin aku tak dapat menarik lagi jiwa ini ke daratan. Aku semakin tersiksa dengan perasaanku sendiri. Ini takdir untuk merasakan bahwa cinta merupakan perasaan yang begitu sulit aku jelaskan. Begitu sulit untuk aku menerima kembali keadaan yang sebelumnya biasa-biasa saja. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali memandang tembok dan melemparinya dengan senyuman-senyuman yang tak jelas adanya. Entah dari mana datangnya senyuman, itupun tak pernah disangka sebelumnya.
        Ada kalanya hari menjadi harinya orang gila. Milik orang-orang yang sedang membangun cinta. Ada kalanya hari begitu pendek. Suara gemuruhpun tak dapat didengar sore itu. Ucapan terima kasih dari seseorangpun tak sempat dibalasnya. Begitu pelitkah cinta sampai tak membolehkan diriku berbagi dengan yang lain? Persediaan kantung udaraku pagi ini hanya 60%. Itupun hanya sekedar untuk melangkah dan melewati pandangannya. Aku hampir tak bisa bernapas.

09 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar