Cerpen Nurohmah
Kuakui diserang oleh perasaan yang sama
berkali-kali sangatlah sakit rasanya. Ditambah kisahnya selalu berulang sampai berakhir
dengan kisah yang sama. Perasaan itu tak pernah mendapat balasan. Menjadikan
hati semakin terluka. Bukankah ini semakin menjadikan suatu kepercayaan diri
berangsur-angsur musnah dan pergi bersama hembusan angin? Membuat pilihan untuk
menumbuhkannya tak lagi bisa terjadi. Seakan takut akan jarum yang akan
menusuknya lagi. menjadikan Aichmophobia
semakin akut.
“Hatiku ternyata semakin sakit,
Sha?”
“Kenapa tak mencoba untuk
mengatakannya saja sih, Fa?”
“Tak mungkin.”
“Lha, kenapa?”
“Aku selalu sakit hati ketika harus
memulai lebih dulu.”
“Tapi
kali ini mungkin tidak akan berakhir seperti masa lalu kamu Syarifa?”
“Tapi, aku ... aku wanita, Sha! Mana
mungkin aku yang memulai?”
“Lalu,
Siti Khadijah pada zaman Nabi Muhammad saw. bukan seorang wanita?”
“Tapi, kali ini beda?”
“Berbeda
apanya? Kalau cinta ya katakan cinta. Apakah kau mau menunggu sampai kulit di
wajahmu keriput?”
“Selama itukah? Sampai aku tidak
dianggap ada oleh dia?”
“Hmm,
jelas-jelas dia tidak akan tahu jika kau tak memberitahunya? Apa perlu aku yang
bilang?”
“Nggak usah.”
Terlihat
Aisha tak mau berdebat lagi tentang perasaanku sehingga membiarkan aku sendiri
di kelas sebelum jam istirahat usai. Matilah aku oleh perasaanku sendiri!
***
Setelah
pulang sekolah aku dan Aisha pergi ke toko untuk membeli alat-alat lukis. Saat
itu juga kita memutuskan untuk langsung menggarap tugas seni budaya di rumah
Aisha. Mulanya sempat bingung mau melukis apa. Tapi setelah melalui perdebatan
panjang akhirnya kita akhirnya untuk menggambar dengan menganut aliran
romantisme.
Aliran romantisme ini merupakan aliran
tertua di dalam sejarah seni lukis modern Indonesia. Kami akan menggambar sebuah
taman bunga. Tetapi yang akan menjadi fokusnya adalah bunga mawar dengan warna
merah darah. Namun ketika aku selesai membuat sketsa lukisan Aisha mengeluarkan
benda tajam yang membuatku merinding.
“Kamu kenapa, Fa?”
“Nggak tahu,” kataku sambil
menggeleng dan menutup mata. “Yang jelas jauhkan benda itu dariku, Sha?”,
lanjutku.
“Apa?”
“Jarumnya.”
“Oke. Oke. Sekarang udah.” katanya
dengan sedikit bingung. “Kamu kenapa sih takut banget sama jarum?” selidiknya.
“Nggak tahu. Yang jelas hanya dengan
melihat jarum apalagi pisau aku akan merasa perutku seperti ditusuk-tusuk.”
“Kok bisa?”
“Aku juga nggak tahu sejak kapan aku
merasakan hal kayak gini. Aku sudah lupa. Tapi yang aneh terkadang aku juga
masih bisa menggunakan pisau kalau lagi di dapur. Itupun jika terlebih dulu aku
tak melihat keadaan ujung pisau itu sedang terbalik. Aku akan bisa
menggunakannya dengan tenang.” jelasku.
“Ah... begitu rupanya. Ya sudah kau
balik badan saja. Aku akan melubangi cat airnya.”
“Oke.”
Setelah Aisha melubangi cat airnya
aku dan Aisha mulai mewarnai gambarnya. Satu persatu mulai penuh dengan warna. Ketika
pada akhir Aisha menyelesaikan memoleskan kuasnya, diam-diam aku terpesona
dengan merah mawarnya dan berpikir bagaimana mungkin tanganku bisa membuatnya.
Padahal menggambar adalah kebiasaan yang sudah aku tinggalkan setelah aku lulus
SD.
Aku
menggambarnya seperti ada dorongan yang menuntunnya sehingga semuanya mengalir
begitu saja. Begitu juga akan perasaan-perasaan itu yang selalu timbul
berulang-ulang selalu mengalir begitu saja tanpa bisa aku menghentikannya.
Namun ketika aku selalu mendapati orang yang aku suka telah menyukai orang lain,
aku akan langsung merasakan jarum-jarum seperti sedang menusuki kepalaku.
***
Hari ini adalah hari pengumpulan
tugas seni budaya. Aku dan Aisha seperti tidak percaya saat pulang sekolah guru
seni budaya memuji lukisannya. Keesokan harinya aku dan Aisha seolah seperti
artis mendapat pujian dari mana saja karena lukisanku di pajang di perpustakaan.
Seolah
seperti mimpi ketika jam sekolah usai ada suara yang mendekatiku dengan
lembutnya saat aku keluar dari gerbang sekolah. Aku bertemu seseorang yang aku
suka juga memuji lukisanku dan Aisha.
Aku tak mengira dengan sebuah lukisan mampu menggerakkan seseorang. Biasanya
aku hanya berbicara dengannya hanya sebatas kepentingan masing-masing
departemen saja dalam organisasi pramuka di sekolah. Tapi jalan pikiranku
memang tak pernah salah, ketika ia kelar membicarakan lukisan, ia pun berganti
topik membicarakan tugas sekolah dan acara latihan rutin kegiatan pramuka di
sekolah.
Meskipun dia orang yang membosankan
tapi karena itu mungkin aku menyukainya. Sepanjang jalan aku merasakan pipiku
telah berubah seperti tomat. Kalau saja rumah kita searah mungkin bisa-bisa aku
pingsan di tempat karena darahku terlalu deras mengaliri otakku. Bisa-bisa
dadaku meledak tak bisa menahan degupnya. Dan meskipun hanya sebentar, tapi aku
sudah pasti akan merasakan efek dari pembicaraan itu sampai berminggu-minggu.
Asal kita semakin dekat, aku yakin aku bisa mengubah image-ku menjadi sosok yang selalu diingat olehnya. Jadi meskipun
tidak sekarang, aku yakin di masa depan kita akan ditakdirkan bersama. Karena
aku tak akan membiarkan dia pergi. Sebisa mungkin aku akan mengejarnya jika dia
menghindar. Tidak masalah jika di mata dia menjadi stalker woman, yang jelas aku tak mau jarum-jarum itu menusuki
kepalaku.