Seorang
Bapak Berjas Abu
Converse |
Sering aku datang terlambat. Banyak faktor yang melatar belakangi
mengapa aku terlambat diantaranya yaitu aku bangun kesiangan. Namun pagi ini
karena sepatuku tidak ada di atas rak sepatu. Sekitar setengah jam aku mencari
di mana sepatuku. Namun hasilnya nihil. Terpaksa aku memakai sepatuku yang
lama.
Saking terburu-burunya sampai semua
kendaraan yang ada di depanku aku salip tanpa perhitungan. Sampai akupun
menerobos lampu merah, berlari dan terus berlari menuju kelas. Aku membuka
pintu kelas ternyata dosen belum datang, semua mahasiswa melihat ke arahku
sambil berkata “kamu bikin kaget kita aja” seru mereka. Akupun duduk.
Aku tak menyadari tali sepatuku terinjak, saat namaku dipanggil
dosen maju ke depan. Nyaris aku jatuh seandainya aku tidak pegangan kursi yang
ada di depanku. Hari ini penuh dengan cerita misteri sepatu yang membuatku hampir
naik darah. Setelah pelajaran usai, aku memperhatikan ada berbagai jenis dan merk sepatu lalu lalang di depan mata.
Ada sepatunya orang kaya, sepatunya orang cantik, sepatunya orang antisosial,
sepatunya model dan sepatunya orang miskin. Hampir tiap hari aku melihat si diapun
berganti sepatu. Kehidupannya bagai pertunjukan model yang berjalan di atas cat walk.
Anak kecil penyemir sepatu yang sering kali aku lihat di depan
kampus dengan pedagang koran, kerap membuatku merasa tersentuh. Wajahnya yang
polos dan penuh keceriaan. Baju kusut dan wajah yang kurang bersinar serta tak
mengenakan sepatu, menawari jasa penyemir sepatu kepada siapapun yang ia
jumpai.
Aku selalu berdua dengan Venda. Biasanya aku menunggu jam kuliah
di atas tangga ke lima dekat ruang kuliah sambil browsing, membaca karya-karya sastra dari berbagai situs blogger.
“Et, tot.
Sorry.” seorang wanita yang terkenal centil menginjak
kakiku.
“Sorry-sorry.
Sakit nih. Sepatu besi lo itu nginjek kaki gue.”
“Gitu aja
marah.” katanya datar sambil turun menuruni tangga.
Pandangannya menelanjangi pikiran. Imajinya membaca isi hatiku.
Gerakan tangannya menghipnotis sesaat. Suara beratnya memecah derai keringat.
Nenek misterius semakin serius menangkap gerakan bola mataku. Lalu pergi begitu
saja dengan cucunya. Meninggalkan aku yang masih tampak cengang.
“Mengapa
nenek bisa tahu aku di sini?” kaget setengah
mati aku melihat nenek misterius itu datang ke rumahku.
“Nak, sepatu
cucu nenek ilang. Maukah kau memberikan nenek sepatumu, Nak?”
“Oh, iya,
Nek. Kebetulan aku ada sepatu yang tidak dipakai. Tunggu sebentar aku ambil
dulu, Nek.”
“Terima
kasih, Nak. Terima kasih banyak. Semoga Tuhan menggantinya dengan yang lebih
baik.” katanya lirih meyakinkan sambil memalingkan pandangan
dan pergi.
Keanehan yang semakin membuat bulu kudukku semakin merinding.
Kebingungan langsung menyerang kepalaku. Aku tak bisa jujur saat nenek tua itu
meminta sepatuku. Padahal aku sendiri, tinggal sepatu itu yang aku miliki.
Akhirnya, langsung aku jemput Venda dan mengajaknya pergi ke toko sepatu.
“Sebenarnya
sepatu seperti apa yang kau cari, Wan?”
“Tak ada
sepatu yang...”
“Sssst. Liat
tuh cewek cantik. Pake higil bak diva saja, Wan.”
“High
heels!” kataku sambil merengut.
“Eh, eh mau
kemana? Katanya mau...” aku menarik tangan Venda tanpa
banyak penjelasan.
Dari jajaran sepatu yang murah sampai yang mahal, tak ada yang
memesona dan menarik hati. Aku memutuskan untuk makan saja di salah satu tempat
favorit kami berdua kala mengunjungi pusat perbelanjaan. Tanpa ba bi bu lagi Vendapun langsung memesan
makanan. Sementara aku pergi ke toilet.
“Nak, Bapak nitip tas Bapak
dulu, ya? Bapak mau ke sana sebentar mau membeli mainan buat anak Bapak.”
“Oh, ya, Pak.” kataku
singkat.
Saya menunggu Bapak berjas abu itu untuk kembali lagi mengambil
tasnya. Sekitar 15 menit aku mondar-mandir di depan pintu toilet. Bapak berjas abu
tak juga kembali. Aku mencari Bapak yang tadi masuk ke toko mainan. Namun aku tak
mendapati satu pengunjungpun di sana. Panik aku langsung menghampiri Venda.
“Ven, Ven. Aku...” kataku
bingung .
“Apa. Aku,
aku. Ngomong tuh yang jelas.”
“Ini, nih.
Tadi ada seorang bapak-bapak nitipin ini.”
“Terus,
bapaknya mana?”
“Nah, itu
dia permasalahannya.”
Venda merebut tas bapak berjas dan langsung melihat isi tasnya.
Tanpa sepatah kata langsung dia mengambil sebuah kotak berwarna hitam
bertuliskan “converse”. Setelah
dibuka isinya sepasang sepatu berwarna coklat muda. Aku langsung melotot kala Venda
membacakan sebuah sobekan kertas kecil yang bertuliskan sebuah pesan.
Untukmu
seorang pemuda yang baik hati, Wawan.
“Aku
mengambil sepatumu di atas rak kemarin. Sepatuku basah. Maaf aku tak langsung
memberitahu. Aku buru-buru pergi karena ibuku sakit. Tetapi sebagai gantinya
aku telah mengirimimu sebuah sepatu yang sama. Karena mungkin aku akan lama.” sebuah
pesan singkat dikirim oleh Indra teman satu kos denganku.
09.07
p.m
14
November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar