Sabtu, 17 November 2012

Cerpen 2012



Seorang Bapak Berjas Abu

Converse
Sering aku datang terlambat. Banyak faktor yang melatar belakangi mengapa aku terlambat diantaranya yaitu aku bangun kesiangan. Namun pagi ini karena sepatuku tidak ada di atas rak sepatu. Sekitar setengah jam aku mencari di mana sepatuku. Namun hasilnya nihil. Terpaksa aku memakai sepatuku yang lama.
            Saking terburu-burunya sampai semua kendaraan yang ada di depanku aku salip tanpa perhitungan. Sampai akupun menerobos lampu merah, berlari dan terus berlari menuju kelas. Aku membuka pintu kelas ternyata dosen belum datang, semua mahasiswa melihat ke arahku sambil berkata “kamu bikin kaget kita aja” seru mereka. Akupun duduk.
Aku tak menyadari tali sepatuku terinjak, saat namaku dipanggil dosen maju ke depan. Nyaris aku jatuh seandainya aku tidak pegangan kursi yang ada di depanku. Hari ini penuh dengan cerita misteri sepatu yang membuatku hampir naik darah. Setelah pelajaran usai, aku memperhatikan ada berbagai jenis dan merk sepatu lalu lalang di depan mata. Ada sepatunya orang kaya, sepatunya orang cantik, sepatunya orang antisosial, sepatunya model dan sepatunya orang miskin. Hampir tiap hari aku melihat si diapun berganti sepatu. Kehidupannya bagai pertunjukan model yang berjalan di atas cat walk.
Anak kecil penyemir sepatu yang sering kali aku lihat di depan kampus dengan pedagang koran, kerap membuatku merasa tersentuh. Wajahnya yang polos dan penuh keceriaan. Baju kusut dan wajah yang kurang bersinar serta tak mengenakan sepatu, menawari jasa penyemir sepatu kepada siapapun yang ia jumpai.
Aku selalu berdua dengan Venda. Biasanya aku menunggu jam kuliah di atas tangga ke lima dekat ruang kuliah sambil browsing, membaca karya-karya sastra dari berbagai situs blogger.
“Et, tot. Sorry.” seorang wanita yang terkenal centil menginjak kakiku.
“Sorry-sorry. Sakit nih. Sepatu besi lo itu nginjek kaki gue.”
“Gitu aja marah.” katanya datar sambil turun menuruni tangga.
Pandangannya menelanjangi pikiran. Imajinya membaca isi hatiku. Gerakan tangannya menghipnotis sesaat. Suara beratnya memecah derai keringat. Nenek misterius semakin serius menangkap gerakan bola mataku. Lalu pergi begitu saja dengan cucunya. Meninggalkan aku yang masih tampak cengang.
“Mengapa nenek bisa tahu aku di sini?” kaget setengah mati aku melihat nenek misterius itu datang ke rumahku.
“Nak, sepatu cucu nenek ilang. Maukah kau memberikan nenek sepatumu, Nak?”
“Oh, iya, Nek. Kebetulan aku ada sepatu yang tidak dipakai. Tunggu sebentar aku ambil dulu, Nek.”
“Terima kasih, Nak. Terima kasih banyak. Semoga Tuhan menggantinya dengan yang lebih baik.” katanya lirih meyakinkan sambil memalingkan pandangan dan pergi.
Keanehan yang semakin membuat bulu kudukku semakin merinding. Kebingungan langsung menyerang kepalaku. Aku tak bisa jujur saat nenek tua itu meminta sepatuku. Padahal aku sendiri, tinggal sepatu itu yang aku miliki. Akhirnya, langsung aku jemput Venda dan mengajaknya pergi ke toko sepatu.
“Sebenarnya sepatu seperti apa yang kau cari, Wan?”
“Tak ada sepatu yang...”
“Sssst. Liat tuh cewek cantik. Pake higil bak diva saja, Wan.”
“High heels!” kataku sambil merengut.
“Eh, eh mau kemana? Katanya mau...” aku menarik tangan Venda tanpa banyak penjelasan.
Dari jajaran sepatu yang murah sampai yang mahal, tak ada yang memesona dan menarik hati. Aku memutuskan untuk makan saja di salah satu tempat favorit kami berdua kala mengunjungi pusat perbelanjaan.  Tanpa ba bi bu lagi Vendapun langsung memesan makanan. Sementara aku pergi ke toilet.
Nak, Bapak nitip tas Bapak dulu, ya? Bapak mau ke sana sebentar mau membeli mainan buat anak Bapak.”
Oh, ya, Pak.” kataku singkat.
Saya menunggu Bapak berjas abu itu untuk kembali lagi mengambil tasnya. Sekitar 15 menit aku mondar-mandir di depan pintu toilet. Bapak berjas abu tak juga kembali. Aku mencari Bapak yang tadi masuk ke toko mainan. Namun aku tak mendapati satu pengunjungpun di sana. Panik aku langsung menghampiri Venda.
Ven, Ven. Aku...” kataku bingung .
“Apa. Aku, aku. Ngomong tuh yang jelas.”
“Ini, nih. Tadi ada seorang bapak-bapak nitipin ini.”
“Terus, bapaknya mana?”
“Nah, itu dia permasalahannya.”
Venda merebut tas bapak berjas dan langsung melihat isi tasnya. Tanpa sepatah kata langsung dia mengambil sebuah kotak berwarna hitam bertuliskan “converse”. Setelah dibuka isinya sepasang sepatu berwarna coklat muda. Aku langsung melotot kala Venda membacakan sebuah sobekan kertas kecil yang bertuliskan sebuah pesan.
Untukmu seorang pemuda yang baik hati, Wawan.
“Aku mengambil sepatumu di atas rak kemarin. Sepatuku basah. Maaf aku tak langsung memberitahu. Aku buru-buru pergi karena ibuku sakit. Tetapi sebagai gantinya aku telah mengirimimu sebuah sepatu yang sama. Karena mungkin aku akan lama.” sebuah pesan singkat dikirim oleh Indra teman satu kos denganku.

09.07 p.m
14 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar