Cipling
Cerpen
Nurohmah
“Cipling! Mana topimu?” seru guruku.
“Oh, iya Cipling lupa, Bu. Ketinggalan di rumah
nenek.”
“Emangnya ada apa di rumah nenek? Sampai topimu
ketinggalan?”
“Ngga’ ada apa-apa, Bu. ‘Kan Cipling tinggal di
rumah nenek.”
Guruku langsung bertolak pinggang. Tangannya
mengincar telingaku tapi aku segera berlari menuju lapangan untuk berbaris.
Pagi itu aku lolos dari cengkeraman tangan nenek sihir. Baru sekolah beberapa
hari saja guru-guru sudah hafal namaku.
Sebenarnya nakal bukan hobi, hanya saja
jika satu hari tanpa ulah nakal, dunia ini sepi banget. Bahkan tak bisa
mengalahkan indahnya bunga mawar merah yang mekar merona. Padahal ciptaan-Nya
yang paling indah itu adalah para manusia yang setiap hari makin memenuhi bumi
ini. Hidup tak bisa disia-siakan begitu saja.
“Bu?
Bu Anis? Bu Anis tahu Cipling kelas VII A?”
“Emangnya kenapa, Bu?”
“Dia itu ngga’ pernah mengerjakan PR. Udah
kasih dia ketegasan tapi tetep aja ngga’ ngerjain.”
“Sama, Bu. Di kelas dia juga sering
tidur dan tidak memperhatikan.”
“Kalau begitu... kita harus gimana lagi
ya, Bu?”
“Entahlah.”
***
“Cipling? Masukan bajunya!”
Cipling mengangguk, sambil merapikan
bajunya ia bertanya,”Boleh bertanya ngga’ Bu?”
“Nanya apa?”
“Itu, mau nanya, kenapa baju Ibu juga
ngga’ dimasukan?”
“Kamu ya... jelaslah punya Ibu tidak
dimasukkan.”
Telingaku langsung jadi sasaran
tangannya. Lalu menggiringku ke lapangan. Ibu Nani menyuruhku hormat di bawah
tiang bendera. Bel istirahat berbunyi dan aku masih berdiri di lapangan.
“Cipling? Ngapain kamu masih berdiri di
sana? Cepat masuk!” seru pak Samin.
“Tapi, nanti Ibu Nani pasti marah.”
“Kamu mau dimarahin Bapak atau dimarahin
Bu Nani? Cepat masuk.”
“Bener, Pak?”
“Cepat masuk.”
“Yes!”
“Cipling kenapa kata guru-guru lain
ngga’ pernah ngerjain PR?”
“Oh, anu Pak. Anu...”
“Anu apa?”
“Cipling lupa, Pak.”
“Mulai sekarang ngga’ boleh lupa.
Ngerti?”
“Iya, Pak.”
“Hari ini Bapak mau ngadain ulangan.
Cipling udah belajar belum?”
“Hah? Ulangan Pak?”
“Iya.”
“Kok ngga’ ada pemberitahuan, Pak?
Cipling ‘kan kemaren masuk.”
“Iya, ‘kan biar surprise.”
“Tenang aja Pak. Pelajaran Matematika
itu kesukaan Cipling.”
“Awas kalau nilai nol! Kalau nilai nol
Bapak akan kasih kamu PR setiap hari. Tapi kalau Cipling dapat seratus, kamu
ngga’ perlu ikut tes akhir. Langsung Bapak kasih nilai seratus di rapor.”
“Bener, Pak?”
“Emang Bapak keliatan lagi bercanda,
ya?”
Ulangan dimulai. Kelas tiba-tiba menjadi
sunyi. Tak terdengar suara gaduh sekecil apapun, meski hanya suara pulpen terjatuh.
Lima belas menit baru berlalu tapi aku merasa telah benar-benar merampungkan
semua soal. Langsung saja aku berdiri dan menyerahkan kertas ulangan. “Mata pak
Samin itu tadi gede banget sih.” gumamku.
“Cipling ikut Bapak ke kantor.”
Aku langsung membuntuti Pak Samin ke
kantor. Semua anak menyumpahi kalau aku pasti dapat nilai nol, karena kertas
ulanganku saja yang belum dibagikan. Mereka tahu kalau aku memang anak yang
susah diatur, anak nakal yang bisanya menggaggu. Aku juga igin menjadi siswa
yang mempunyai perilaku baik, taat, dan patuh, seperti yang lain.
“Cipling? Kamu nyontek ya?”
“Ngga’ Pak?”
“Tapi, Bapak ngga’ pernah lihat kamu
serius di kelas? Kerjaan kamu bercanda terus.”
“Setiap pulang sekolah Cipling kerja
jaga toko sama angkat-angkat barang, Pak. Terus pulangnya malem. Jadi Cipling selalu
lupa mengerjakan PR. Terus Cipling suka ngeliatin guru private anak pemilik toko kalo Cipling lagi bekerja. Kadang-kadang
malah saya disuruh ikut menemani anaknya belajar.”
“Oh, begitu? Tapi kenapa kamu selalu
membuat onar? Selalu membuat guru yang lain pusing. Selalu menghukum kamu.”
“Kalau itu Cipling memang benci dengan
sekolah. Gara-gara Cipling pergi ke sekolah, ibu Cipling pergi dan ayah menikah
lagi. Sampai sekarang ibu ngga’ pernah pulang. Dia hanya mengirimi Cipling uang.
Tapi Bapak tahu? Jadi apa Ibu Cipling? Pelacur Pak. Cipling ngga’ mau
terus-terusan makan uang haram. Kalau Cipling diperbolehkan nenek ngga’ sekolah,
Cipling lebih memilih mengurus nenek...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar