Sebuah Rahasia
Cerpen Nurohmah
Cerpen Nurohmah
“Bahkan
setelah nenekmu meninggal, kau tak juga ingin menikah?” suara ibuku datang dari belakang mendekatiku.
“Ibu...
sudahlah. Jika waktunya sudah tiba, aku pasti, aku akan lakukan itu.” jawabku untuk kesekian kalinya menghadapi sebuah
desakan ibu yang menyuruh putrinya cepat menikah.
“Tapi,
kau menunggu apa lagi, Nak? Ibu sudah menunggu-nunggu waktu itu terjadi.” dalih ibuku lagi, seakan ia benar-benar ingin
melihatku duduk di pelaminan diusianya yang sudah sangat tua.
“Ibu
jangan khawatir. Aku pasti akan menikah.”
jawabku ceria.
“Iya,
tapi kapan?” tanyanya kesal sembari
memandangiku yang sedari tadi tak melepaskan pandangan dari buku.
“Bu,
aku punya alasan tersendiri untuk tidak segera menikah sekarang.” kali ini aku bicara benar-benar memandang wajah
ibuku yang terlihat memelas.
“Kau
bahkan bicara seperti itu telah menyakiti perasaanmu sendiri. Sampai detik ini
ibumu belum pernah melihat kau bersama laki-laki.” katanya memalingkan muka dariku dengan nada yang
tidak begitu enak di dengar.
Kata-kata ibuku seperti menjadi bumerang
untukku sendiri. Bahkan ibuku tahu apa yang aku rasakan. Sambil melihat ke arah
jendela aku berkata,”Bu... sudahlah.
jangan terlalu difikirkan. Aku baik-baik saja. Bahkan jika aku telah melihat semua
teman-temanku telah menggendong anak, aku akan tetap baik-baik saja.” kataku
sambil menutup buku dan memejamkan mata, berdiri dan meninggalkan ibuku. Aku
melihat dengan jelas di bawah nyala lampu yang tak begitu terang, ibuku sedang
menangis tersedu-sedu.
Keesokan harinya, ketika aku akan pergi
bekerja, akupun melihat ibuku yang selalu bersedih setelah perbincangan di mana
aku selalu menolak untuk menikah. Bahkan ketika aku mencium tangannya, aku
mendengar suaranya begitu lirih menjawab salamku.
“Bu,
aku berangkat dulu.” kataku
bersemangat seolah tak terjadi apa-apa.
Entah sampai kapan waktu akan menjawab.
Yang jelas aku semakin terpojok. Karena tidak hanya ibu yang menyuruhku untuk
segera menikah. Bahkan ibuku dan teman-temanku bekerja sama untuk menjodohkanku
dengan seseorang.
“Gadis,
tadi ibumu telpon, kenapa nomormu tak bisa dihubungi? Ia menyuruhmu untuk cepat
pulang. Ayo kita pulang? Ini sudah terlalu lama kau di sini. Lagi pula penjaga
perpustakaan juga akan segera menutupnya.”
katanya tepat dihadapanku dengan ekspresi wajah yang terlihat selalu khawatir.
Setelah tak ada jawaban dariku, diapun mencoba menarik tanganku.
“Jangan
mencoba bicara kepadaku seolah kau tak punya salah! Kau adalah orang yang harus
bertanggung jawab atas beban moral dan psikologis yang aku tanggung selama 20
tahun. Dan untuk sekarang, lebih baik kau enyah dari hadapanku. Aku tidak ingin
melihatmu.” jawabku tanpa
sepicingpun memandang laki-laki yang pernah menyakitiku. Meskipun dia adalah
saudaraku dan dia adalah orang pertama yang selalu dimintai ibu untuk
menjagaku, karena aku anak tunggal.
“Apa
yang kau... sebenarnya apa maksudmu?”
jawabnya tak mengerti. Karena memang setelah kejadian 20 tahun yang lalu aku
tak pernah sedikitpun mengungkitnya. Atau mungkin dia sengaja berpura-pura tak
mengingat kejadian itu. Itu bisa saja dia
berpura-pura lupa.
Aku mencoba menahan air mata, sebelum
akhirnya aku berkata,”Sudahlah. Kalau
begitu lupakan saja. Aku hanya ingin, kau tak perlu bicara lagi denganku. Aku
bisa pulang sendiri.” mataku memerah dan aku hanya menunduk. Dan aku
melihat ia benar-benar pergi.
Akupun akhirnya pulang, setelah penjaga
perpustakaan benar-benar akan menutupnya. Aku mungkin pembaca yang keterlaluan.
Tapi aku pikir, ketika tak ada anak-anak di sini, inilah waktu di mana aku bisa
membaca dengan baik. Aku menjadi merasa bersalah. Perpustakaan yang biasanya
akan ditutup pukul 15.00 WIB kini harus tutup satu jam kemudian. Tapi aku
pikir, hidupku lebih menyedihkan dari ia yang hanya pulang telat satu jam.
Bahkan aku pikir istrinya tidak akan marah.
“Assalamu...” salamku terhenti ketika di ruang tamu aku melihat
seseorang telah menunggu kedatanganku. Bahkan ibuku terlihat bahagia jika
seorang laki-laki datang ke rumah.
“Duduklah,
Nak.” ajak ibu yang sedari
tadi telah menunggu lama dan terlihat akrab dengan laki-laki itu. Bahkan
diantara mereka memainkan bahasa mata. Sebelum akhirnya ibu meneruskan
kata-katanya, “Iman ini sudah lama
menunggumu, Dis. Sebaiknya... ibu harus meninggalkan kalian berdua di sini.”
Aku hanya bisa pasrah. Kali ini aku
tidak punya alasan untuk pergi. Aku telah mengenal Iman sebelumnya. Bahkan
waktu kita masih bersekolah, ia pernah mengungkapkan perasaannya. Tapi waktu
itu aku menolak dengan alasan aku tidak boleh pacaran. Dan pada pertemuan kali ini,
akupun memberikan jawaban yang sama, yaitu aku belum siap. Tapi, ia menegaskan
kepadaku,”Baiklah. Aku akan tetap
menunggu sampai kau siap. Aku tahu kau sedang terpojok untuk segera menikah.
Makanya aku datang. Aku sebenarnya tak tahu mengapa kau selalu seperti ini.
Yang jelas aku tahu, kau sedang tidak mencintai pria lain selain aku. Bahkan
aku melihatmu tersenyum ketika aku menembakmu waktu itu.”
“Bagaimana,
Dis?” tanya ibuku setelah
Iman pulang dan baru saja aku duduk dan membuka buku.
“Bagaimana
apanya, Bu? Ibu jangan menjadikan keputusanku untuk tak segera memenuhi
permintaan ibu menjadi suatu hal yang menakutkan. Aku masih cukup muda, Bu. Aku
masih ingin menikmati ini...”
Bahkan setelah aku menyimpan semuanya
bertahun-tahun, masa lalu yang kelam itu tak mau juga berdamai dengan hidupku.
Akhirnya aku ceritakan kejadian itu kepada ibu dan melaporkan laki-laki itu
kepada polisi atas tindakan asusila. Bahkan aku sendiri takut setelah kejadian
ini aku benar-benar memutuskan tidak akan menikah untuk selamanya.
Dan untuk lelaki yang aku cintai, lewat
senja aku sampaikan pesan ini, “Aku
tunggu kau di pintu surga."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar