Jumat, 27 Desember 2013

dimuat pada kolom Budaya, Surat Kabar Priangan.Jumat, 15 November 2013



  Sebuah Rahasia
Cerpen Nurohmah
“Bahkan setelah nenekmu meninggal, kau tak juga ingin menikah?” suara ibuku datang dari belakang mendekatiku.
“Ibu... sudahlah. Jika waktunya sudah tiba, aku pasti, aku akan lakukan itu.” jawabku untuk kesekian kalinya menghadapi sebuah desakan ibu yang menyuruh putrinya cepat menikah.
“Tapi, kau menunggu apa lagi, Nak? Ibu sudah menunggu-nunggu waktu itu terjadi.” dalih ibuku lagi, seakan ia benar-benar ingin melihatku duduk di pelaminan diusianya yang sudah sangat tua.
“Ibu jangan khawatir. Aku pasti akan menikah.” jawabku ceria.
“Iya, tapi kapan?” tanyanya kesal sembari memandangiku yang sedari tadi tak melepaskan pandangan dari buku.
“Bu, aku punya alasan tersendiri untuk tidak segera menikah sekarang.” kali ini aku bicara benar-benar memandang wajah ibuku yang terlihat memelas.
“Kau bahkan bicara seperti itu telah menyakiti perasaanmu sendiri. Sampai detik ini ibumu belum pernah melihat kau bersama laki-laki.” katanya memalingkan muka dariku dengan nada yang tidak begitu enak di dengar.
Kata-kata ibuku seperti menjadi bumerang untukku sendiri. Bahkan ibuku tahu apa yang aku rasakan. Sambil melihat ke arah jendela aku berkata,”Bu... sudahlah. jangan terlalu difikirkan. Aku baik-baik saja. Bahkan jika aku telah melihat semua teman-temanku telah menggendong anak, aku akan tetap baik-baik saja.” kataku sambil menutup buku dan memejamkan mata, berdiri dan meninggalkan ibuku. Aku melihat dengan jelas di bawah nyala lampu yang tak begitu terang, ibuku sedang menangis tersedu-sedu.
Keesokan harinya, ketika aku akan pergi bekerja, akupun melihat ibuku yang selalu bersedih setelah perbincangan di mana aku selalu menolak untuk menikah. Bahkan ketika aku mencium tangannya, aku mendengar suaranya begitu lirih menjawab salamku.
“Bu, aku berangkat dulu.” kataku bersemangat seolah tak terjadi apa-apa.
Entah sampai kapan waktu akan menjawab. Yang jelas aku semakin terpojok. Karena tidak hanya ibu yang menyuruhku untuk segera menikah. Bahkan ibuku dan teman-temanku bekerja sama untuk menjodohkanku dengan seseorang.
“Gadis, tadi ibumu telpon, kenapa nomormu tak bisa dihubungi? Ia menyuruhmu untuk cepat pulang. Ayo kita pulang? Ini sudah terlalu lama kau di sini. Lagi pula penjaga perpustakaan juga akan segera menutupnya.” katanya tepat dihadapanku dengan ekspresi wajah yang terlihat selalu khawatir. Setelah tak ada jawaban dariku, diapun mencoba menarik tanganku.
“Jangan mencoba bicara kepadaku seolah kau tak punya salah! Kau adalah orang yang harus bertanggung jawab atas beban moral dan psikologis yang aku tanggung selama 20 tahun. Dan untuk sekarang, lebih baik kau enyah dari hadapanku. Aku tidak ingin melihatmu.” jawabku tanpa sepicingpun memandang laki-laki yang pernah menyakitiku. Meskipun dia adalah saudaraku dan dia adalah orang pertama yang selalu dimintai ibu untuk menjagaku, karena aku anak tunggal.
“Apa yang kau... sebenarnya apa maksudmu?” jawabnya tak mengerti. Karena memang setelah kejadian 20 tahun yang lalu aku tak pernah sedikitpun mengungkitnya. Atau mungkin dia sengaja berpura-pura tak mengingat kejadian itu. Itu bisa saja dia berpura-pura lupa.
Aku mencoba menahan air mata, sebelum akhirnya aku berkata,”Sudahlah. Kalau begitu lupakan saja. Aku hanya ingin, kau tak perlu bicara lagi denganku. Aku bisa pulang sendiri.” mataku memerah dan aku hanya menunduk. Dan aku melihat ia benar-benar pergi.
Akupun akhirnya pulang, setelah penjaga perpustakaan benar-benar akan menutupnya. Aku mungkin pembaca yang keterlaluan. Tapi aku pikir, ketika tak ada anak-anak di sini, inilah waktu di mana aku bisa membaca dengan baik. Aku menjadi merasa bersalah. Perpustakaan yang biasanya akan ditutup pukul 15.00 WIB kini harus tutup satu jam kemudian. Tapi aku pikir, hidupku lebih menyedihkan dari ia yang hanya pulang telat satu jam. Bahkan aku pikir istrinya tidak akan marah.
“Assalamu...” salamku terhenti ketika di ruang tamu aku melihat seseorang telah menunggu kedatanganku. Bahkan ibuku terlihat bahagia jika seorang laki-laki datang ke rumah.
“Duduklah, Nak.” ajak ibu yang sedari tadi telah menunggu lama dan terlihat akrab dengan laki-laki itu. Bahkan diantara mereka memainkan bahasa mata. Sebelum akhirnya ibu meneruskan kata-katanya, “Iman ini sudah lama menunggumu, Dis. Sebaiknya... ibu harus meninggalkan kalian berdua di sini.”
Aku hanya bisa pasrah. Kali ini aku tidak punya alasan untuk pergi. Aku telah mengenal Iman sebelumnya. Bahkan waktu kita masih bersekolah, ia pernah mengungkapkan perasaannya. Tapi waktu itu aku menolak dengan alasan aku tidak boleh pacaran. Dan pada pertemuan kali ini, akupun memberikan jawaban yang sama, yaitu aku belum siap. Tapi, ia menegaskan kepadaku,”Baiklah. Aku akan tetap menunggu sampai kau siap. Aku tahu kau sedang terpojok untuk segera menikah. Makanya aku datang. Aku sebenarnya tak tahu mengapa kau selalu seperti ini. Yang jelas aku tahu, kau sedang tidak mencintai pria lain selain aku. Bahkan aku melihatmu tersenyum ketika aku menembakmu waktu itu.”
“Bagaimana, Dis?” tanya ibuku setelah Iman pulang dan baru saja aku duduk dan membuka buku.
“Bagaimana apanya, Bu? Ibu jangan menjadikan keputusanku untuk tak segera memenuhi permintaan ibu menjadi suatu hal yang menakutkan. Aku masih cukup muda, Bu. Aku masih ingin menikmati ini...”
Bahkan setelah aku menyimpan semuanya bertahun-tahun, masa lalu yang kelam itu tak mau juga berdamai dengan hidupku. Akhirnya aku ceritakan kejadian itu kepada ibu dan melaporkan laki-laki itu kepada polisi atas tindakan asusila. Bahkan aku sendiri takut setelah kejadian ini aku benar-benar memutuskan tidak akan menikah untuk selamanya.
Dan untuk lelaki yang aku cintai, lewat senja aku sampaikan pesan ini, “Aku tunggu kau di pintu surga."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar