Jumat, 27 September 2013

Aichmophobia


Cerpen Nurohmah        
              Kuakui diserang oleh perasaan yang sama berkali-kali sangatlah sakit rasanya. Ditambah kisahnya selalu berulang sampai berakhir dengan kisah yang sama. Perasaan itu tak pernah mendapat balasan. Menjadikan hati semakin terluka. Bukankah ini semakin menjadikan suatu kepercayaan diri berangsur-angsur musnah dan pergi bersama hembusan angin? Membuat pilihan untuk menumbuhkannya tak lagi bisa terjadi. Seakan takut akan jarum yang akan menusuknya lagi. menjadikan Aichmophobia semakin akut.
            “Hatiku ternyata semakin sakit, Sha?”
            “Kenapa tak mencoba untuk mengatakannya saja sih, Fa?”
            “Tak mungkin.”
            “Lha, kenapa?”
            “Aku selalu sakit hati ketika harus memulai lebih dulu.”
            “Tapi kali ini mungkin tidak akan berakhir seperti masa lalu kamu Syarifa?”
            “Tapi, aku ... aku wanita, Sha! Mana mungkin aku yang memulai?”
            “Lalu, Siti Khadijah pada zaman Nabi Muhammad saw. bukan seorang wanita?”
            “Tapi, kali ini beda?”
            “Berbeda apanya? Kalau cinta ya katakan cinta. Apakah kau mau menunggu sampai kulit di wajahmu keriput?”
            “Selama itukah? Sampai aku tidak dianggap ada oleh dia?”
            “Hmm, jelas-jelas dia tidak akan tahu jika kau tak memberitahunya? Apa perlu aku yang bilang?”
            “Nggak usah.”
            Terlihat Aisha tak mau berdebat lagi tentang perasaanku sehingga membiarkan aku sendiri di kelas sebelum jam istirahat usai. Matilah aku oleh perasaanku sendiri!
            ***
            Setelah pulang sekolah aku dan Aisha pergi ke toko untuk membeli alat-alat lukis. Saat itu juga kita memutuskan untuk langsung menggarap tugas seni budaya di rumah Aisha. Mulanya sempat bingung mau melukis apa. Tapi setelah melalui perdebatan panjang akhirnya kita akhirnya untuk menggambar dengan menganut aliran romantisme.
Aliran romantisme ini merupakan aliran tertua di dalam sejarah seni lukis modern Indonesia. Kami akan menggambar sebuah taman bunga. Tetapi yang akan menjadi fokusnya adalah bunga mawar dengan warna merah darah. Namun ketika aku selesai membuat sketsa lukisan Aisha mengeluarkan benda tajam yang membuatku merinding.
            “Kamu kenapa, Fa?”
            “Nggak tahu,” kataku sambil menggeleng dan menutup mata. “Yang jelas jauhkan benda itu dariku, Sha?”, lanjutku.
            “Apa?”
            “Jarumnya.”
            “Oke. Oke. Sekarang udah.” katanya dengan sedikit bingung. “Kamu kenapa sih takut banget sama jarum?” selidiknya.
            “Nggak tahu. Yang jelas hanya dengan melihat jarum apalagi pisau aku akan merasa perutku seperti ditusuk-tusuk.”
            “Kok bisa?”
            “Aku juga nggak tahu sejak kapan aku merasakan hal kayak gini. Aku sudah lupa. Tapi yang aneh terkadang aku juga masih bisa menggunakan pisau kalau lagi di dapur. Itupun jika terlebih dulu aku tak melihat keadaan ujung pisau itu sedang terbalik. Aku akan bisa menggunakannya dengan tenang.” jelasku.
            “Ah... begitu rupanya. Ya sudah kau balik badan saja. Aku akan melubangi cat airnya.”
            “Oke.”
            Setelah Aisha melubangi cat airnya aku dan Aisha mulai mewarnai gambarnya. Satu persatu mulai penuh dengan warna. Ketika pada akhir Aisha menyelesaikan memoleskan kuasnya, diam-diam aku terpesona dengan merah mawarnya dan berpikir bagaimana mungkin tanganku bisa membuatnya. Padahal menggambar adalah kebiasaan yang sudah aku tinggalkan setelah aku lulus SD.
Aku menggambarnya seperti ada dorongan yang menuntunnya sehingga semuanya mengalir begitu saja. Begitu juga akan perasaan-perasaan itu yang selalu timbul berulang-ulang selalu mengalir begitu saja tanpa bisa aku menghentikannya. Namun ketika aku selalu mendapati orang yang aku suka telah menyukai orang lain, aku akan langsung merasakan jarum-jarum seperti sedang menusuki kepalaku.
            ***
            Hari ini adalah hari pengumpulan tugas seni budaya. Aku dan Aisha seperti tidak percaya saat pulang sekolah guru seni budaya memuji lukisannya. Keesokan harinya aku dan Aisha seolah seperti artis mendapat pujian dari mana saja karena lukisanku di pajang di perpustakaan.
Seolah seperti mimpi ketika jam sekolah usai ada suara yang mendekatiku dengan lembutnya saat aku keluar dari gerbang sekolah. Aku bertemu seseorang yang aku suka  juga memuji lukisanku dan Aisha. Aku tak mengira dengan sebuah lukisan mampu menggerakkan seseorang. Biasanya aku hanya berbicara dengannya hanya sebatas kepentingan masing-masing departemen saja dalam organisasi pramuka di sekolah. Tapi jalan pikiranku memang tak pernah salah, ketika ia kelar membicarakan lukisan, ia pun berganti topik membicarakan tugas sekolah dan acara latihan rutin kegiatan pramuka di sekolah.
            Meskipun dia orang yang membosankan tapi karena itu mungkin aku menyukainya. Sepanjang jalan aku merasakan pipiku telah berubah seperti tomat. Kalau saja rumah kita searah mungkin bisa-bisa aku pingsan di tempat karena darahku terlalu deras mengaliri otakku. Bisa-bisa dadaku meledak tak bisa menahan degupnya. Dan meskipun hanya sebentar, tapi aku sudah pasti akan merasakan efek dari pembicaraan itu sampai berminggu-minggu. Asal kita semakin dekat, aku yakin aku bisa mengubah image-ku menjadi sosok yang selalu diingat olehnya. Jadi meskipun tidak sekarang, aku yakin di masa depan kita akan ditakdirkan bersama. Karena aku tak akan membiarkan dia pergi. Sebisa mungkin aku akan mengejarnya jika dia menghindar. Tidak masalah jika di mata dia menjadi stalker woman, yang jelas aku tak mau jarum-jarum itu menusuki kepalaku.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar