Minggu, 29 Oktober 2017

Puisi yang diadaptasi dari puisi Reza siswa SMK TEKNOLOGI YAF

Anak Panah

teruntuk Sahabatku

Di sini, aku teringat wajahmu yang mungil
Aku pun terkekeh saat mengingat caramu tertawa
Saat kau bercerita perihal kekonyolan
Atau bahkan pertengkaran yang kau alami
Dan saat kuputar cerita yang lalu bersamamu
Aku tersadar, kau adalah warna terindah dalam hidupku....

Kau tahu?
Kau adalah anak panah yang dilengkapi busur
Kau dilesatkan dengan tujuan yang lurus
Memberikan sebuah arah yang pasti
Begitu pun pertemuanku denganmu
Begitu membekas akan kenangan indah
Seolah kau telah melesat tepat di hatiku
Sampai kapan pun tak dapat kulupa....

Sahabat...
Kau telah memberi sebuah kisah yang berarti
Kau relakan waktu berhargamu
Memberi bahu tuk bersandar
Dan dengarkan beban hatiku tanpa mengeluh
Terima kasih atas semua kasih yang kau beri....

Lakbok, 22 Maret 2017

Senin, 20 Maret 2017

Alam yang Menangis

karya tim KIR SMA N 1 LAKBOK

Polusi yang telah mewarnai langit biru
Mengisi udara dengan hawa yang tak sejuk, tercemar
Asap kendaraan dan rumah tangga
Makin menyiksa ruang kehidupan

Puing-puing sampah berserakan
Mengisi ruang penglihatan
Jadi pemandangan yang menyedihkan

Sungai tempat ikan hidup
Tanah tempat kita berpijak
Tempat kehidupan dan penghidupan
Kini telah tercemar sampah dan limbah
Kering, gersang tak tersisa
Yang ada hanya penglihatan mata
Dan ketika alam mulai marah
Semua merasa gelisah, panik tanpa arah
Isak tangis pun melanda rasa yang ada
Itulah alamku...
Dikala tersakiti oleh pencemaran

Juni 2010

Minggu, 18 Desember 2016

Catatan 13 Desember 2016

Biarkan aku menikahi malam dengan kata-kata hiperbola. Dan biarkan kesendirian ini dibalut kerinduan. Bolehkah aku merindukanmu?
.
Terima kasih kau telah memberi perasaan ini. Karena rasa ini adalah kekuatan bagiku tuk tetap menulis tulisan berdarah.
.
Lewat malam yang mencipta kata-kata nan mengusik jiwa-jiwa yang tertawan akan kefanaan dunia. Serta sekedar mencerca jasad yang terbengkalai atas nama dusta, duka, dan luka tak berdarah. Sekali saja ingin kusapa dirimu dengan 'asalamualaikum'.
.
Barangkali kita masih memilih mana perasaan yang harus dipertahankan dan mana perasaan yang hanya sekedar buai mimpi saja.
.
Selamat malam.

Selasa, 24 November 2015

Malam Wisuda

      Aku tidak menyangka bahwa pada hari ini 24 November 2015, aku telah sampai pada titik ini. Titik yang cukup tinggi yaitu mendapat gelar sarjana. Awalnya, tidak terbayang dalam benakku mempunyai cita-cita menjadi seorang guru. Apalagi guru bahasa Indonesia,
      Banyak orang jurusan bahasa Indonesia itu mudah, Seorang yang tidak kuliah pun bisa berbahasa. Tetapi dengan belajar bahasa Indonesia, setidaknya saya ingin mengurangi kegamangan di antara masyarakat kita yang masih bingung antara merubah atau mengubah dan mencontohkan atau menyontohkan.
      Semoga dengan disahkannya gelar S.Pd. tanggal 25 November 2015 gelar tiga huruf ini benar-benar membawa berkah bagi kehidupan bangsa kita, yaitu Indonesia. Love +62.

Selasa, 17 Juni 2014

Feature dan Tulisan Fiksi (Essai)





oleh Nurohmah
Menulis sama seperti halnya menggambar. Sama-sama menumpahkan perasaan. Merasakan energinya dan menyisakan kelegaan sesudahnya. Sesuatu hal yang bisa kita tuangkan dalam tulisan kita adalah pengalaman perjalanan. Baik itu suatu tempat hiburan atau hal-hal apa saja yang dianggap tak wajar atau lumrah. Suatu hal yang sifatnya menyerupai ini biasanya kita kenal dengan feature.
Dunia yang sangat indah ini sangat disayangkan jika tidak dinikmati.  Oleh karena itu feature kerap terlahir dari komunitas pecinta traveling. Kemudian mereka menuangkan informasi atau bahkan hal-hal yang tidak biasa atau umum dalam sebuah feature perjalanan atau feature profile. Namun feature kerap menyerupai tulisan-tulisan fiksi karena sumber penciptaannya yang sama.
Novel bergenre memoar dan feature bahasanya sama-sama terurai yaitu deskriptif, sumber penciptaannya sama yaitu realitas, dan juga sama-sama mengandung informasi. Namun hal yang membedakannya yaitu feature lebih ekspositif dan berdasarkan realitas, memiliki informasi yang lebih menunjang dan dalam konfliknya tidak bercampur dengan unsur kausalitas pengarang seperti alur, karena tulisan fiksi hanya bersifat hiburan semata dan tidak semuanya komprehensif.
Saat ini karya sastra memang berkembang begitu pesat. Mengalahkan kiprahnya penulis opini. Penulis sastra pun kini telah menempati bloknya masing-masing. Entah itu blok sastra populer, domestic drama, mainstream romance, baby love, teen romance, chicklit, teenlit, fiksi mini dan masih banyak lagi blok lainnya. Feature sendiri juga banyak macamnya, misalnya feature perjalanan, feature pribadi, feature how to, feature sejarah, feature interpretatif dan feature musiman.
Seperti halnya keranjingan, menulis adalah suatu hal yang tidak dapat dihentikan. Begitu juga penulis, mereka menulis apapun yang melintas dalam benak mereka. Terkadang mereka menulis tidak sepenuhnya murni dari hasil imajinasi. Ada kalanya mereka menemukan kebuntuan dan akhirnya mereka pergi mendatangi suatu tempat yang dianggapnya akan memberikan ilham. Oleh karena itu, tak jarang pengarang menulis kehidupannya sendiri dalam karyanya. Begitu juga halnya feature, mereka lahir dari pengalaman yang penulis temui.
Sekitar satu bulan yang lalu, di kampus tercinta tempat saya menuntut ilmu menyelenggarakan acara penulisan editorial, berita dan feature. Salah seorang pemateri bernama Mahir Pradana penulis novel “Rhapsody” menceritakan kepada kami bahwa dia telah menulis feature pribadi yang berjudul “Mercedes”. Sama seperti apa yang saya rasakan ketika mendengar judul tersebut, Mahir mengaku langsung terlintas dalam pikirannya bahwa itu adalah nama sebuah mobil mewah ketika mewawancarai Mercedes.
“Mercedes? Ya, itu adalah nama yang sangat bagus.” Begitu mungkin gambaran dari seorang Mahir ketika mewawancarai ibunya Mercedes.
Apapun suatu bentuk tulisan, apakah itu fiksi atau nonfiksi, yang terpenting adalah tulisan kita memberikan banyak manfaat bagi komunitas pembaca. Teruslah menulis dan biarkan khalayak yang menilainya. Terlepas itu bagus atau tidak, jangan pedulikan hal tersebut, karena perkara menulis bukanlah mengejar nilai A. Namun menulis adalah sebuah panggilan.

Selasa, 25 Maret 2014

dimuat pada kolom Budaya, Surat Kabar Priangan.Senin, 24 Maret 2014



Cipling
Cerpen Nurohmah
“Cipling! Mana topimu?” seru guruku.
“Oh, iya Cipling lupa, Bu. Ketinggalan di rumah nenek.”
“Emangnya ada apa di rumah nenek? Sampai topimu ketinggalan?”
“Ngga’ ada apa-apa, Bu. ‘Kan Cipling tinggal di rumah nenek.”
Guruku langsung bertolak pinggang. Tangannya mengincar telingaku tapi aku segera berlari menuju lapangan untuk berbaris. Pagi itu aku lolos dari cengkeraman tangan nenek sihir. Baru sekolah beberapa hari saja guru-guru sudah hafal namaku.
Sebenarnya nakal bukan hobi, hanya saja jika satu hari tanpa ulah nakal, dunia ini sepi banget. Bahkan tak bisa mengalahkan indahnya bunga mawar merah yang mekar merona. Padahal ciptaan-Nya yang paling indah itu adalah para manusia yang setiap hari makin memenuhi bumi ini. Hidup tak bisa disia-siakan begitu saja.
 “Bu? Bu Anis? Bu Anis tahu Cipling kelas VII A?”
“Emangnya kenapa, Bu?”
“Dia itu ngga’ pernah mengerjakan PR. Udah kasih dia ketegasan tapi tetep aja ngga’ ngerjain.”
“Sama, Bu. Di kelas dia juga sering tidur dan tidak memperhatikan.”
“Kalau begitu... kita harus gimana lagi ya, Bu?”
“Entahlah.”
***
“Cipling? Masukan bajunya!”
Cipling mengangguk, sambil merapikan bajunya ia bertanya,”Boleh bertanya ngga’ Bu?”
“Nanya apa?”
“Itu, mau nanya, kenapa baju Ibu juga ngga’ dimasukan?”
“Kamu ya... jelaslah punya Ibu tidak dimasukkan.”
Telingaku langsung jadi sasaran tangannya. Lalu menggiringku ke lapangan. Ibu Nani menyuruhku hormat di bawah tiang bendera. Bel istirahat berbunyi dan aku masih berdiri di lapangan.
“Cipling? Ngapain kamu masih berdiri di sana? Cepat masuk!” seru pak Samin.
“Tapi, nanti Ibu Nani pasti marah.”
“Kamu mau dimarahin Bapak atau dimarahin Bu Nani? Cepat masuk.”
“Bener, Pak?”
“Cepat masuk.”
“Yes!”
“Cipling kenapa kata guru-guru lain ngga’ pernah ngerjain PR?”
“Oh, anu Pak. Anu...”
“Anu apa?”
“Cipling lupa, Pak.”
“Mulai sekarang ngga’ boleh lupa. Ngerti?”
“Iya, Pak.”
“Hari ini Bapak mau ngadain ulangan. Cipling udah belajar belum?”
“Hah? Ulangan Pak?”
“Iya.”
“Kok ngga’ ada pemberitahuan, Pak? Cipling ‘kan kemaren masuk.”
“Iya, ‘kan biar surprise.”
“Tenang aja Pak. Pelajaran Matematika itu kesukaan Cipling.”
“Awas kalau nilai nol! Kalau nilai nol Bapak akan kasih kamu PR setiap hari. Tapi kalau Cipling dapat seratus, kamu ngga’ perlu ikut tes akhir. Langsung Bapak kasih nilai seratus di rapor.”
“Bener, Pak?”
“Emang Bapak keliatan lagi bercanda, ya?”
Ulangan dimulai. Kelas tiba-tiba menjadi sunyi. Tak terdengar suara gaduh sekecil apapun, meski hanya suara pulpen terjatuh. Lima belas menit baru berlalu tapi aku merasa telah benar-benar merampungkan semua soal. Langsung saja aku berdiri dan menyerahkan kertas ulangan. “Mata pak Samin itu tadi gede banget sih.” gumamku.
“Cipling ikut Bapak ke kantor.”
Aku langsung membuntuti Pak Samin ke kantor. Semua anak menyumpahi kalau aku pasti dapat nilai nol, karena kertas ulanganku saja yang belum dibagikan. Mereka tahu kalau aku memang anak yang susah diatur, anak nakal yang bisanya menggaggu. Aku juga igin menjadi siswa yang mempunyai perilaku baik, taat, dan patuh, seperti yang lain.
 “Cipling? Kamu nyontek ya?”
“Ngga’ Pak?”
“Tapi, Bapak ngga’ pernah lihat kamu serius di kelas? Kerjaan kamu bercanda terus.”
“Setiap pulang sekolah Cipling kerja jaga toko sama angkat-angkat barang, Pak. Terus pulangnya malem. Jadi Cipling selalu lupa mengerjakan PR. Terus Cipling suka ngeliatin guru private anak pemilik toko kalo Cipling lagi bekerja. Kadang-kadang malah saya disuruh ikut menemani anaknya belajar.”
“Oh, begitu? Tapi kenapa kamu selalu membuat onar? Selalu membuat guru yang lain pusing. Selalu menghukum kamu.”
“Kalau itu Cipling memang benci dengan sekolah. Gara-gara Cipling pergi ke sekolah, ibu Cipling pergi dan ayah menikah lagi. Sampai sekarang ibu ngga’ pernah pulang. Dia hanya mengirimi Cipling uang. Tapi Bapak tahu? Jadi apa Ibu Cipling? Pelacur Pak. Cipling ngga’ mau terus-terusan makan uang haram. Kalau Cipling diperbolehkan nenek ngga’ sekolah, Cipling lebih memilih mengurus nenek...”

Jumat, 27 Desember 2013

dimuat pada kolom Budaya, Surat Kabar Priangan.Jumat, 15 November 2013



  Sebuah Rahasia
Cerpen Nurohmah
“Bahkan setelah nenekmu meninggal, kau tak juga ingin menikah?” suara ibuku datang dari belakang mendekatiku.
“Ibu... sudahlah. Jika waktunya sudah tiba, aku pasti, aku akan lakukan itu.” jawabku untuk kesekian kalinya menghadapi sebuah desakan ibu yang menyuruh putrinya cepat menikah.
“Tapi, kau menunggu apa lagi, Nak? Ibu sudah menunggu-nunggu waktu itu terjadi.” dalih ibuku lagi, seakan ia benar-benar ingin melihatku duduk di pelaminan diusianya yang sudah sangat tua.
“Ibu jangan khawatir. Aku pasti akan menikah.” jawabku ceria.
“Iya, tapi kapan?” tanyanya kesal sembari memandangiku yang sedari tadi tak melepaskan pandangan dari buku.
“Bu, aku punya alasan tersendiri untuk tidak segera menikah sekarang.” kali ini aku bicara benar-benar memandang wajah ibuku yang terlihat memelas.
“Kau bahkan bicara seperti itu telah menyakiti perasaanmu sendiri. Sampai detik ini ibumu belum pernah melihat kau bersama laki-laki.” katanya memalingkan muka dariku dengan nada yang tidak begitu enak di dengar.
Kata-kata ibuku seperti menjadi bumerang untukku sendiri. Bahkan ibuku tahu apa yang aku rasakan. Sambil melihat ke arah jendela aku berkata,”Bu... sudahlah. jangan terlalu difikirkan. Aku baik-baik saja. Bahkan jika aku telah melihat semua teman-temanku telah menggendong anak, aku akan tetap baik-baik saja.” kataku sambil menutup buku dan memejamkan mata, berdiri dan meninggalkan ibuku. Aku melihat dengan jelas di bawah nyala lampu yang tak begitu terang, ibuku sedang menangis tersedu-sedu.
Keesokan harinya, ketika aku akan pergi bekerja, akupun melihat ibuku yang selalu bersedih setelah perbincangan di mana aku selalu menolak untuk menikah. Bahkan ketika aku mencium tangannya, aku mendengar suaranya begitu lirih menjawab salamku.
“Bu, aku berangkat dulu.” kataku bersemangat seolah tak terjadi apa-apa.
Entah sampai kapan waktu akan menjawab. Yang jelas aku semakin terpojok. Karena tidak hanya ibu yang menyuruhku untuk segera menikah. Bahkan ibuku dan teman-temanku bekerja sama untuk menjodohkanku dengan seseorang.
“Gadis, tadi ibumu telpon, kenapa nomormu tak bisa dihubungi? Ia menyuruhmu untuk cepat pulang. Ayo kita pulang? Ini sudah terlalu lama kau di sini. Lagi pula penjaga perpustakaan juga akan segera menutupnya.” katanya tepat dihadapanku dengan ekspresi wajah yang terlihat selalu khawatir. Setelah tak ada jawaban dariku, diapun mencoba menarik tanganku.
“Jangan mencoba bicara kepadaku seolah kau tak punya salah! Kau adalah orang yang harus bertanggung jawab atas beban moral dan psikologis yang aku tanggung selama 20 tahun. Dan untuk sekarang, lebih baik kau enyah dari hadapanku. Aku tidak ingin melihatmu.” jawabku tanpa sepicingpun memandang laki-laki yang pernah menyakitiku. Meskipun dia adalah saudaraku dan dia adalah orang pertama yang selalu dimintai ibu untuk menjagaku, karena aku anak tunggal.
“Apa yang kau... sebenarnya apa maksudmu?” jawabnya tak mengerti. Karena memang setelah kejadian 20 tahun yang lalu aku tak pernah sedikitpun mengungkitnya. Atau mungkin dia sengaja berpura-pura tak mengingat kejadian itu. Itu bisa saja dia berpura-pura lupa.
Aku mencoba menahan air mata, sebelum akhirnya aku berkata,”Sudahlah. Kalau begitu lupakan saja. Aku hanya ingin, kau tak perlu bicara lagi denganku. Aku bisa pulang sendiri.” mataku memerah dan aku hanya menunduk. Dan aku melihat ia benar-benar pergi.
Akupun akhirnya pulang, setelah penjaga perpustakaan benar-benar akan menutupnya. Aku mungkin pembaca yang keterlaluan. Tapi aku pikir, ketika tak ada anak-anak di sini, inilah waktu di mana aku bisa membaca dengan baik. Aku menjadi merasa bersalah. Perpustakaan yang biasanya akan ditutup pukul 15.00 WIB kini harus tutup satu jam kemudian. Tapi aku pikir, hidupku lebih menyedihkan dari ia yang hanya pulang telat satu jam. Bahkan aku pikir istrinya tidak akan marah.
“Assalamu...” salamku terhenti ketika di ruang tamu aku melihat seseorang telah menunggu kedatanganku. Bahkan ibuku terlihat bahagia jika seorang laki-laki datang ke rumah.
“Duduklah, Nak.” ajak ibu yang sedari tadi telah menunggu lama dan terlihat akrab dengan laki-laki itu. Bahkan diantara mereka memainkan bahasa mata. Sebelum akhirnya ibu meneruskan kata-katanya, “Iman ini sudah lama menunggumu, Dis. Sebaiknya... ibu harus meninggalkan kalian berdua di sini.”
Aku hanya bisa pasrah. Kali ini aku tidak punya alasan untuk pergi. Aku telah mengenal Iman sebelumnya. Bahkan waktu kita masih bersekolah, ia pernah mengungkapkan perasaannya. Tapi waktu itu aku menolak dengan alasan aku tidak boleh pacaran. Dan pada pertemuan kali ini, akupun memberikan jawaban yang sama, yaitu aku belum siap. Tapi, ia menegaskan kepadaku,”Baiklah. Aku akan tetap menunggu sampai kau siap. Aku tahu kau sedang terpojok untuk segera menikah. Makanya aku datang. Aku sebenarnya tak tahu mengapa kau selalu seperti ini. Yang jelas aku tahu, kau sedang tidak mencintai pria lain selain aku. Bahkan aku melihatmu tersenyum ketika aku menembakmu waktu itu.”
“Bagaimana, Dis?” tanya ibuku setelah Iman pulang dan baru saja aku duduk dan membuka buku.
“Bagaimana apanya, Bu? Ibu jangan menjadikan keputusanku untuk tak segera memenuhi permintaan ibu menjadi suatu hal yang menakutkan. Aku masih cukup muda, Bu. Aku masih ingin menikmati ini...”
Bahkan setelah aku menyimpan semuanya bertahun-tahun, masa lalu yang kelam itu tak mau juga berdamai dengan hidupku. Akhirnya aku ceritakan kejadian itu kepada ibu dan melaporkan laki-laki itu kepada polisi atas tindakan asusila. Bahkan aku sendiri takut setelah kejadian ini aku benar-benar memutuskan tidak akan menikah untuk selamanya.
Dan untuk lelaki yang aku cintai, lewat senja aku sampaikan pesan ini, “Aku tunggu kau di pintu surga."